Pages

Friday, October 21, 2011

Kasava Juara Dunia



Negeri tercinta ini produsen singkong nomor empat dunia, tapi juga pengimpor kedua setelah China.
Waktu menunjukkan pukul 20.00 di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Suasana di Gelanggang Olahraga Aji Imbut seluas 4,2 ha itu masih hiruk-pikuk. Para
pengunjung keluar masuk arena Pekan Nasional XIII Kontak Tani Nelayan Andalan 2011
(PENAS KTNA 2011). Mereka berbincang, berdiskusi, sampai berbelanja di stan-stan milik para
petani dan nelayan dari seluruh Indonesia itu. Suasana riuh terus merambat hingga jam
menunjuk pukul 22.00.
 
Namun, tidak dengan stan di bagian kanan luar tenda pameran. Sedari tadi stan itu sudah
ditinggal penjaganya. Bukan tak ada pengunjung, justru banyak peminat yang datang tapi
kecewa lantaran menjumpai stan sudah kosong. Trubus yang datang ke sana pada 21 Juni
2011 malam juga menggigit jari tidak jadi mencicipi menu sajian stan milik Induk Koperasi Tani dan Nelayan (Inkoptan) yang menjajakan produk PT Rassa Indonesia itu.
 
Stan itu menyajikan penganan sederhana: mi dan nasi goreng, Lalu mengapa setiap hari orang datang berbondong-bondong ke sana sehingga terjual 500 porsi per hari dengan harga per porsi Rp10.000? Harap maklum, kedua menu itu rasanya juara. Bumbu mi dan nasi goreng tidak hanya terbuat dari aneka rempah, tapi juga diberi tambahan butiran-butiran tiwul, tutur Ketua Tim Kemitraan PT Rassa Indonesia, M Sholeh. Rupanya butiran umbi singkong Manihot esculenta jadi kuncinya.

Pangan alternatif
 
PT Rassa Indonesia menambahkan butiran tiwul pada bumbu instan racikannya untuk memberi tekstur berbeda saat bumbu dipakai memasak mi atau nasi goreng. Jadi saat orang
menyantapnya ada sensasi kenyal terasa, kata Sholeh yang tidak menduga respon pasar begitu bagus. Direktur Inkoptan Unit Usaha KTNA Nasional itu juga menyebut butiran tiwul itu memberi efek cepat kenyang sehingga konsumsi nasi berkurang. Berdasarkan data yang
dihimpun Sholeh, Indonesia konsumen beras tertinggi di dunia  mencapai     139 kg/kapita/tahun. Sementara Jepang dan China yang semula konsumen beras tertinggi, mampu menekan jumlah konsumsi beras menjadi 90 kg per kapita/tahun. Padahal, produksi beras nasional naik turun sehingga pada waktu-waktu tertentu kita mesti mengimpor. Untuk mengurangi ketergantungan itu maka perlu ada alternatif pangan.
 
PT Rassa Indonesia melakukannya dengan memanfaatkan singkong. Selain pada bumbu instan, umbi tanaman anggota famili Euphorbiaceae itu juga dicampurkan dalam pembuatan mi. Komposisinya 2030% tepung singkong modifikasi alias mocaf; sisanya terigu. Toh tekstur dan rasanya sama dengan mi terbuat dari 100% terigu. Sholeh menghitung jika seluruh industri mi mengganti 2030% terigu dengan mocaf, maka impor terigu diperkirakan berkurang 40%. Itu setara dengan penghematan Rp867,36-miliar.
 
Tepung singkong jadi pilihan karena bahan bakunya tersedia banyak di tanahair. Teknologi
budidaya dan pengolahannya pun sudah dikuasai. Dengan menampilkan singkong dalam bentuk berbeda Sholeh berharap umbi tanaman kerabat jarak pagar itu makin populer sebagai pangan alternatif. Dengan begitu ketergantungan terhadap nasi dan terigu yang berbahan gandum dapat berkurang. Pengolah singkong sebagai bahan baku industri modern pun diharapkan mendongkrak nilai jual di kebun. Pekebun merasa untung dan kian semangat menanam singkong.
 

Pengganti terigu
 
Sejak 2 tahun terakhir, popularitas singkong memang mencorong di tanahair. Itu diawali munculnya teknologi modified cassava flour (mocaf) yang memanfaatkan bakteri asam laktat untuk  merusak granula pati dan dinding sel umbi singkong. Dengan begitu struktur sel dan karakteristik singkong yang diolah menjadi tepung berubah.
Lewat fermantasi selama 8 jam, proses pengeringan, dan penepungan didapat tepung singkong yang mudah larut. Citarasa menjadi netral, bau dan rasa singkong hilang sampai 70%, kata Dr Achmad Subagio, penemu tepung mocaf dari Universitas Jember, Jawa Timur.
  Mocaf digadang-gadang sebagai pengganti terigu. Harap mafhum, volume impor terigu
Indonesia cenderung meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat volume impor pada 2006 baru 536.961.661 kg senilai Rp1,188-triliun. Volume impor melonjak menjadi 580.887.319 kg (Rp1,496-triliun) pada 2007. Popularitas umbi kasava itu kian terdongkrak dengan bermunculannya berbagai merek olahan keripik singkong dalam kemasan cantik yang dikembangkan perusahaan-perusahaan besar.
 
Menurut Direktur Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, Kementerian Pertanian, Ir Rahman Pinem MM, pemanfaatan singkong di tanahair masih fokus sebagai sumber pangan alternatif. Padahal, faedah tanaman kerabat euphorbia itu berlimpah (baca: Bukan Umbi, Tapi Harta Karun, halaman 8282). Baru beberapa perusahaan yang serius mengembangkan produk turunan singkong dalam skala industri. Salah satu yang terbesar di tanahair adalah PT Budi Acid Jaya di Lampung.
Perusahaan milik Group Sungai Budi itu memproduksi aneka produk turunan singkong seperti tepung tapioka, asam sitrat, glukosa, fruktosa,  tepung tapioka modifikasi, penyedap rasa monosodium glutamat, maltodextrin, dan pemanis sorbitol. Produksi terbesar adalah tepung tapioka yang berkapasitas produksi 720.000 ton per tahun.
 
Masih impor
 
Jumlah produksi tapioka Budi Acid Jaya itu baru mencukupi 36% kebutuhan tapioka tanahair yang diperkirakan mencapai 2-juta ton per tahun. Padahal, pemintaan tapioka meningkat 1015% setiap tahunnya. Itulah sebabnya Indonesia menjadi importir tapioka terbesar kedua setelah China. Data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2008 menyebutkanBIndonesia mengimpor tapioka sebanyak 120.000 ton per tahun.

Kondisi itu sangat kontras dengan Thailand. Di negeri Gajah Putih Manihot esculenta menjadi komoditas ekspor andalan. Dari luas areal tanam 1,14-juta hektar, Thailand memproduksi 21,87-juta ton umbi singkong. Dari jumlah itu 44% diolah menjadi singkong iris kering dan sisanya menjadi tapioka. Sebanyak 33% di antaranya diekspor dalam bentuk irisan singkong kering dan 38% dalam bentuk tapioka. Dengan jumlah ekspor sebanyak itu, Thailand menjadi eksportir produk berbahan singkong terbesar di dunia. Indonesia bukannya tak bisa. Sejak beberapa tahun terakhir berkembang industri chip singkong di Trenggalek, Jawa Timur. Para perajinnya menghasilkan produk olahan itu untuk memasok industri mocaf.
 
Keterampilan teknologi itu perlu dikembangkan karena sejak 2009 produksi singkong Thailand menurun hingga 2030% akibat serangan hama kutu putih yang mewabah di beberapa sentra singkong. Gempuran hama itu bukan hanya menurunkan produksi, tapi juga harga jual singkong segar di tingkat pekebun. Saat ini banyak pekebun yang memanen singkong lebih awal, yakni pada umur 89 bulan, biasanya 1213 bulan. Mereka khawatir tanaman keburu terserang hama, ujar Jarurat Pipatvatcharanont dari CP Intertrade Co Ltd, eksportir tapioka di Bangkok, Thailand. Akibatnya kadar dan kualitas pati yang dihasilkan rendah sehingga harga jual pun anjlok.
 
Bencana yang menimpa pekebun di Thailand itu semestinya menjadi peluang bagi pengembangan singkong tanahair. Apalagi impor tepung singkong China hingga saat ini terus meningkat. Saat ini China merupakan pasar tepung singkong terbesar di dunia. Pada 2000 kebutuhan tepung singkong China hanya 2,8-juta ton per tahun. Dari jumlah itu hanya 1,3-juta ton terpenuhi dari impor. Dalam kurun 10 tahun kebutuhan tepung singkong China meroket tajam menjadi 9,3-juta ton per tahun. Yang baru terpenuhi dari impor hanya separuhnya.
 
Bioetanol
 
Menurut wakil presiden Starch Industry Association of China, Jin Shu-Ren, sejak 1990 China juga gencar memproduksi bioetanol untuk bahan bakar. Pada 2000 industri pengolahan bioetanol mulai dibangun di Provinsi Henan dan Heilongjiang. Tiga tahun kemudian bensin berbahan campuran 10% bioetanol mulai dipasarkan di 5 kota besar dan 27 kota kecil. Saat ini kami sedang mengejar ketertinggalan dari Brasil dan Amerika Serikat dalam memproduksi bioetanol, ujar Shu-Ren.
 
Semula China memproduksi bioetanol dari tepung jagung  impor dari Amerika Serikat. Sejak 3 tahun terakhir China beralih ke tepung singkong meski harganya lebih mahal ketimbang tepung jagung. Musababnya, isu jagung transgenik yang banyak ditentang berbagai kalangan dikhawatirkan mengganggu kontinuitas pasokan dari Amerika Serikat.
 
Sayangnya pengembangan singkong di tanahair juga mengalami kendala akibat anomali cuaca yang terjadi pada 2 tahun terakhir. Curah hujan yang tinggi di beberapa sentra singkong di Lampung, menyebabkan populasi uret berkembang biak dengan cepat. Akibatnya, banyak pekebun mengeluh saat panen umbi habis dimakan uret. Padahal, mereka sudah menunggu setahun hingga panen. Pada 2011 sebanyak 100 ha lahan singkong gagal panen akibat umbi habis di makan uret, ujar Eddy Liem, dari PT Budi Acid Jaya Tbk. Akibat serangan itu harga singkong segar di Lampung naik dari semula Rp300/kg menjadi Rp450 per kg.
 
Tingginya biaya pengangkutan akibat rusaknya infrastruktur seperti jalan juga menjadi kendala. Importir asal Singapura, Kelvin Chua, mengeluhkan tingginya biaya angkut yang menyebabkan harga beli singkong dari pekebun di Indonesia naik. Kalau begini terus saya akan beralih membeli singkong dari Thailand dan Vietnam, katanya. Seandainya kendala itu dapat diatasi, maka tidak mustahil di masa mendatang Indonesia menggeser posisi Thailand sebagai eksportir produk berbahan singkong terbesar di dunia. Dengan begitu kasava Indonesia bisa menjadi juara dunia.

(Imam Wiguna/Peliput: Tri Istianingsih)

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 All About Horticulture and Powered by Blogger.