Pages

Monday, October 31, 2011

JAMBU AIR BLACK DIAMOND



Di outlet buah di satu pasar swalayan di Jepang, ada jambu air berwarna merah tua kehitaman. Ukurannya besar-besar. Satu buah jambu bisa seberat 0,25 kg. (1 kg isi empat). Nama jambu air itu sangat mentereng: Black Diamond. Di pasar internasional, sebutan untuk buah jambu air memang hebat: Water Aple. Atau kadang-kadang disebut juga  Java Aple. Disebut water aple mungkin karena buahnya mirip apel tetapi banyak airnya. Dinamakan java aple karena asalnya memang dari pulau Jawa. Namun saat ini yang berhasil menikmati keuntungan dengan membudidayakan buah jambu air tersebut bukan petani Jawa melainkan orang-orang Taiwan. Di Jepang dan Korea, jambu air black diamond berharga sekitar Rp 8.000,- per buah. Kalau dalam satu kilonya hanya ada 3 buah, maka harga per kg jambu air itu mencapai Rp 24.000,- (sekitar 2 US $). Karenanya petani  Taiwan mau secara serius mengembangkan komoditas  yang di negeri asalnya justru disepelekan..
Pertanyaan "calon investor" kita apabila ingin terjun ke agribisnis adalah: komoditas apa yang saat ini paling menguntungkan? Sebuah pertanyaan yang bagi para petani Taiwan akan kedengaran sangat bodoh. Petani Taiwan memilih komoditas bukan karena "paling menguntungkan" atau nilai keuntungannya luarbiasa. Petani Taiwan yang  menanam jambu air tersebut, alasannya sederhana sekali. Karena kawasan tersebut, sekitar Taichung di Taiwan Tengah, memang hanya cocok untuk jambu air. Dan para petani di sana sudah terlajur menyenangi (hingga menguasai) teknologi penanaman jambu air. Soal "paling menguntungkan" atau tidak bagi para petani Taiwan tak pernah dipersoalkan. Sebab kalau dikelola dengan serius, tanaman apa pun akan bisa mendatangkan keuntungan yang baik. Petani jambu itu bisa punya mobil bagus, bisa berwisata sampai Thailand, Indonesia  dan Amerika Serikat,  serta bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Padahal lahan jambunya hanya sekitar 2,5 hektar.
Buah ambu air memang tanaman asli pulau Jawa. Ada dua spesies jambu air. Syzygium semerangensis yang manis dan  Syzygium aquem yang masam. Jambu air  semarangansis maupun aquem yang tumbuh di Jawa banyak sekali varietasnya. Mulai dari yang berwarna hijau tua kecokelatan, hijau kekuningan, merah tua kehitaman, merah darah, merah muda sampai ke putih bersih. Bentuk dan ukurannya juga beragam. Ada yang beratnya bisa sampai 0,5 kg, tetapi ada pula yang hanya sebesar kelereng. Bentuknya mulai dari memanjang sampai pipih, ada yang dari pangkal ke ujungnya rata, ada yang meruncing mirip lonceng. Permukaan buahnya ada yang halus (jambu lilin) ada yang beralur agak kasar (jambu cincalo). Tetapi "harta" karun ini belum pernah diteliti secara serius. Apalagi dibudidayakan. Di Indonesia, jambu air hanya tumbuh di pekarangan rumah di dataran rendah. Fungsinya bukan sebagai tanaman buah melainkan untuk peneduh.
Sejarah masuknya jambu air ke Taiwan dimulai tahun 1941. Ketika itu Jepang sudah menginvasi Taiwan, yang waktu itu masih bernama pulau Formosa. Di Ciamis ada seorang keturunan Cina yang kerabatnya berada di Taiwan. Dari kerabatnya itu dia mendengar kabar bahwa sebentar lagi Balatentara Jepang juga akan menginvasi Indonesia (Hindia Belanda), hingga pasti akan ada peperangan. Karena mendengar bahwa Taiwan yang sudah dikuasai Jepang itu relatif aman, maka dia pun memutuskan untuk segera pindah ke Taiwan. Tidak lupa dia membawa beberapa tanaman jambu air. Salah seorang anaknya bernama Shin-Yang Su, kini bekerja di Taiwan Bioligical Reaserch Corporation. Di Taiwan, jambu air "jawa" itu diteliti dengan serius lalu dikembangkan secara komersial. Ada beberapa klon yang layak untuk ditanam secara massal. Mulai dari yang berwarna putih, pink, merah jambu, merah darah sampai yang merah kehitaman yang disebut sebagai black diamond tadi. Java aple pun lalu jadi komoditas ekspor andalan bagi petani Taiwan.
Tailand juga sangat tertarik untuk mengembangkan jambu air. Mereka sudah menanam jenis jambu lilin berwarna hijau kekuningan, tetapi tetapi hasilnya tidak sehebat black diamond, juga belum sampai diekspor. Tahun 90an, seorang pakar buah-buahan Thailand sempat berkeliling ke  beberapa kawasan di Jateng untuk mencari jenis-jenis jambu air yang yang dianggapnya potensial untuk mereka kembangkan. Dia menemukan jambu lilin merah dan disebutnya sebagai "jambu air jawa". Anehnya di Indonesia sendiri, ada klon jambu air yang oleh para penangkar bibit disebut sebagai "jambu air bangkok". Jambu air bangkok ini berwarna hijau gelap berukuran besar, diameter ujung dan pangkalnya hampir sama dan rasanya manis sekali meskipun masih muda. Tetapi ketika Direktur Hortikultura Thailand pada tahun 1989 datang ke Indonesia, dia mengatakan bahwa di Thailand tidak ada jambu air seperti itu. Pendapat itu dikuatkan oleh Subijanto, Kepala Puslitbang Hortikultura Deptan pada waktu itu. Menurut Subijanto, jambu air "bangkok" tersebut banyak dijumpainya disekitar Jombang dan Kediri di Jatim. Sampai saat ini pun "jambu air bangkok" tersebut justru sama sekali belum ditanam di Thailand.
Tahun 1994, di Sumsel ada seorang pekebun sawit yang mencoba mengembangkan jambu air "taiwan". Baik yang pink, merah muda maupun black diamondnya. Hasilnya kurang begitu bagus. Buahnya memang banyak, berukuran besar  dan juga manis-manis. Tetapi kulit buahnya sangat lemah. Meskipun sudah diberi net spon yang lembut, tetap saja ketika tiba di Jakarta dan Singapura (lewat cargo pesawat), kulit jambu air itu banyak yang lecet-lecet. Ini disebabkan karena tingkat humiditas (kelembapan) kawasan Sumsel sangat tinggi. Sementara di Taiwan relatif kering. Sebenarnya indikasi ini sudah kelihatan dari habitat asli tumbuhan jambu air di negeri kita. Di Bogor yang lembab, tidak ada jambu air bagus. Tetapi di desa Gondrong, Tangerang, jambu air dapat optimal pertombuhannya. Hingga dikenalah jambu air "cincalo gondrong" yang besar-besar, renyah dan manis. Sentra plasma nutfah jambu air yang kaya pasti terletak  di sepanjang pantai pulau Jawa yang relatif kering. Hingga di Madura, dikenalah jambu air "kelampok camplong" yang manisnya luar biasa. Tetapi ketika Rudy Sanjaya dari "Buah Segar" mencoba memasukkan camplong madura ini ke Hero, tiga hari masih utuh. Setelah namanya diganti dengan "jambu filipina" baru digerai sehari sudah habis.
Indonesia, sebenarnya sudah "kecurian" plasma nutfah jambu air. Tetapi musibah ini justru bisa dimanfaatkan dengan baik. Sekarang ini, bibit the black diamond sudah banyak diproduksi oleh para penangkar kita. Memperbanyak jambu air terhitung sedarhana, yakni dengan stek atau cangkok. Meskipun sudah mampu memperbanyak black diamond dengan baik, saat ini masih banyak penangkar bibit yang kebingungan dalam mendiskripsi jenis jambu air tersebut. Di salah satu penangkar besar di kawasan Cibinong black diamond ini disebut sebagai jambu air "citra". Padahal jambu air penemuan Moh. Reza yang sudah dirilis oleh menteri pertanian ini warnanya merah cerah. Tetapi apa pun jenisnya, kalau kita sigap mengembangkan berbagai jenis jambu air ini, pasar yang sudah dirintis Taiwan bisa ganti kita curi. Sebab agroklimat Jawa jauh lebih baik dari Taiwan. Tenaga kerja di sini juga lebih murah. Bedanya, di Taiwan tidak ada KKN seperti di sini. Di sana orang mau membuka kebun cukup mendaftar ke pemerintah distrik dan selesai. Di sini, untuk membuka kebun antara 10 sampai 30 hektar saja, harus datang ke belasan meja dan dipersulit.
Investasi menanam jambu air tidak setinggi durian. Kalau durian perlu minimal Rp 50.000.000,- per hektar, jambu air hanya sekitar Rp 30.000.000,- per hektar untuk skala paling kecil yakni 10 hektar. Perbanyakan jambu air dilakukan cukup dengan cangkok. Umur panennya hanya sekitar 2 sampai 3 tahun. Jambu air memang perlu pembungkusan untuk menghindari serangan lalat buah. Tentu ada pertanyaan mengenai pasarnya. Ini sebuah pertanyaan klasik yang jawabannya diharapkan sangat instant. Padahal yang namanya pasar itu harus disurvei dan dicari dan itu memerlukan investasi yang jumlahnya tidak kecil. Tetapi kalau kita lihat pengalaman Rudy Sanjaya tadi, tandanya pasar lokal kita pun sebenarnya masih sangat bagus. Kendala yang dihadapi saat ini, justru suplai kontinu yang tidak pernah ada. Jadi kalau kita mengembangkan masih dalam luasan ratusan hektar, pasar lokal pasti sanggup menampung. Kecuali kalau kita mengembangkan sampai ribuan hektar, harus digarap juga pasar ekspor. Itu pun tidak terlalu berat. Sebab Taiwan sudah mempromosikan jambu air kita itu sampai ke Jepang dan Korea. Kalau ada investor serius, tinggal kita panggil saja orang-orang Taiwan tersebut untuk jadi konsultan.
Secara konkrit, pada satu hektar lahan bisa kita tanam sampai 375 batang jambu air (jarak tanam 6 X 4 m). Dengan pruning berat, tinggi tanaman kita jaga maksimal hanya 3 meter. Gunanya untuk memudahkan panen dan perawatan. Kalau tiap tanaman bisa menghasilkan minimal 20 kg buah setiap panen, maka dari tiap  hektar lahan akan bisa dipetik 7,5 ton buah. Dengan harga Rp 2.000,- per kg, hasil per hektar sekali panen Rp 15.000.000,- Dalam setahun, jambu air bisa dipanen minimal dua kali hingga pendapatan kotor per hektarnya Rp 30.000.000,- Dengan pengairan yang baik panen bisa terjadi tiga kali atau Rp 45.000.000,- Kalau kawasan-kawasan gersang di sepanjang pantai utara Jawa atau NTT mau mengurus jambu air ini, hasilnya akan bisa memakmurkan rakyat. Kawasan pantai di Jawa yang panas dan gersang biasanya rakyatnya hidup sebagai nelayan miskin. Kalau mereka dididik dan juga diberi modal untuk menanam jambu air, kemiskinan itu akan bisa ditanggulangi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Bob Sadino pada setiap kesempatan selalu mengatakan bahwa para pejabat kita di Deptan dan Dinas pertanian, juga para pakar kita di IPB,  selama ini hanya "tidur". Tampaknya pendapat itu memang ada juga benarnya. Sebab dari komoditas yang sangat sepele ini pun, para petani Taiwan bisa kaya. Betapa tidak, kalau mereka melepas black diamond tadi dengan harga 1 US $ saja per kg. (Rp 10.000,-) maka pendapatan kotor mereka per tahun akan mencapai Rp 225.000.000,- dari satu hektar lahannya. Petani di Taichung yang lahannya mencapai 2,5 hektar itu, per tahun bisa menghasilkan Rp 675.000.000,- atau tiap bulannya lebih dari Rp 5.000.000,- kotor. Perawatan tanaman jambu air tentu tidak setinggi tanaman semusim seperti padi atau palawija. Hingga tidak mengherankan kalau para petani jambu air Taiwan itu bisa berlibur sampai ke Pattaya, Kuta dan Hawaii. Sebab seandainya biaya perawatan tanaman mencapai 40% dari omzet, mereka masih bergaji Rp 3.000.000,- per bulan tanpa harus keluar untuk transpor tiap hari. (FR)+++

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 All About Horticulture and Powered by Blogger.