Pages

Monday, October 31, 2011

INDUSTRI PERBERASAN NASIONAL



Di Kec. Cibeber, Kab. Cianjur, Jawa Barat; ada sebuah pabrik penggilingan padi dengan kapasitas 25 ton per hari. Pabrik tersebut masih idle capacity. Stok padi pandanwangi yang ada di pabrik itu memang menggunung dua deret sekitar 200 ton. Namun apabila seluruh padi itu digiling, maka dalam waktu delapan hari akan habis. Untuk menunggu panen berikutnya pabrik tersebut akan menganggur. Penggilingan-penggilingan (huller) skala kecil pun banyak pula yang menganggur. Huller yang aktif beroperasi pun, kapasitas kerjanya tidak pernah mencapai angka ideal yakni 200 hari dalam setahun. Karenanya banyak penggilingan padi yang bangkrut, ditutup dan dijual. Tetapi minat investor untuk menanam modal di usaha penggilingan padi tetap luarbiasa. Di satu kampung di desa Bojong Genteng, Parungkuda, Sukabumi, ada huller yang baru saja tutup dan pindah ke tempat lain. Tetapi di lokasi yang sama, ada investor lain yang berniat untuk mendirikan penggilingan dengan mesin baru.
Fakta lokal tadi mewakili banyak kabupaten di Jawa yang sebenarnya hanya memiliki areal sawah terbatas. Di Kab. Karawang, Subang sampai ke Indramayu, produktifitas  huller memang lebih baik. Tetapi tetap tidak bisa mencapai kapasitas ideal minimal 200 hari dalam setahun. Kalau di lahan berpengairan teknis panen dapat terlaksana tiga kali dalam setahun, maka paling besar, kapasitas terpakai dari huller-huller tadi hanyalah 100 hari per tahun. Ini merupakan tugas dari Pemda setempat dan Deptan serta Deperindag untuk mendata ulang. Berapa sebenarnya luas areal sawah di suatu tempat, dan berapa jumlah huller yang ada berikut kapasitas terpasangnya. Data semacam ini sayang sekali tidak ada. Kalau pun ada, tidak pernah cocok dengan kondisi riil di lapangan. Sebab siapa pun boleh membeli huller skala kecil dan mendirikan pabrik penggilingan beras. Kalau ini dibiarkan terus, maka yang paling banyak diuntungkan adalah pabrik pembuat mesin penggilingan dan dialernya.
Sebagai negara pemakan beras terbesar di dunia, Indonesia mestinya menata industri perberasan nasionalnya secara benar. Selama ini Bulog dengan Dolog dan KUDnya hanyalah berpikiran sangat simpel. Jumlah penduduk Indonesia ada 200 juta jiwa. Per kepala memerlukan beras 0,5 kg per hari. Jadi total kebutuhan beras penduduk Indonesia per hari adalah 100.000 ton. Seandainya terjadi musibah gagal panen total, maka diperlukan cadangan beras 9.000.000 ton bagi 200 juta jiwa untuk jangka waktu tiga bulan. Dengan asumsi tiga bulan kemudian akan terjadi panen yang lebih baik. Kalau Bulog gagal membeli beras dari petani sejumlah angka tersebut, maka lembaga ini akan mengimpor selisih kekurangannya. Yang dilupakan oleh Bulog adalah, masyarakat juga memiliki cadangan beras sendiri. Baik yang disimpan oleh petani maupun yang berada di tangan pedagang. Karenanya di masa-masa silam, cadangan beras Bulog sering tak tersalurkan ke masyarakat. Beras yang terlalu lama disimpan ini akan mengalami kerusakan fisik yang sangat parah lalu dibagi-bagikan ke pegawai negeri dan ABRI.
Pola penyimpanan stok cadangan beras yang dilakukan oleh Bulog dan juga pedagang sebenarnya salah. Di manapun di dunia, termasuk di masyarakat tradisional kita, yang disimpan selalu gabah atau bulir padi. Gabah atau padi tersebut akan dijadikan beras sesuai dengan kebutuhan konsumsi. Kalau para petani tradisional kita menyimpan bulir padi dalam lumbung berupa kotak kayu atau "tumbu besar" (anyaman bambu), maka dalam agroindustri modern penyimpanan bulir gandum, jagung pipilan  dan gabah dilakukan dalam sebuah silo. Biasanya hasil panen biji-bijian akan masuk ke satu unit dryer untuk dikeringkan. Rata-rata hasil panen biji-bijian masih berkadar air antara 20 sampai 30%. Di Indonesia, karena kelembapan udaranya tinggi dan biasanya panen terjadi pada puncak musim hujan, maka kadar air gabah bisa lebih dari 30%. Dengan dryer, kadar air biji-bijian ini akan turun hingga tinggal antara 14 sampai 15%. Biji-bijian kering inilah yang disimpan dalam silo yang biasanya berbentuk silinder tegak. Biji-bijian baru dimasukkan dari atas, sementara yang akan digiling diambil dari bawah.
Dengan konsep tersebut, biji-bijian yang disimpan adalah yang benar-benar kering. Tanda fisik kalau biji-bijian ini kadar airnya 14 sampai 15% adalah, kalau dipecah atau dipatahkan dengan gigi akan sulit karena sangat keras. Ruang dalam silo tersebut juga kedap udara. Sehingga hama, kelembapan dan suhu dari luar tidak bisa masuk ke dalam silo. Pola pemasukan biji-bijian baru dari atas dan pengambilan dari bawah, bisa menjamin bahwa produk yang masuk terlebih dahululah akan diproses lebih dulu pula. Kapasitas dryer, silo dan penggilingan disesuaikan dengan luasan areal yang akan dicover dan rata-rata volume yang dihasilkan. Misalnya, satu areal sawah berpengairan teknis seluas 100 hektar rata-rata menghasilkan 400 ton per musim tanam. Kalau setahun panen 3 kali maka volume yang dihasilkan per tahun mencapai 1.200 ton. Pola tanam areal tersebut harus diatur agar panennya tidak terjadi serentak. Hingga proses pengeringan bisa dilakukan pula secara bertahap.
Kalau kita menginginkan dryer dan huller beroperasi 200 hari dalam setahun, maka per hari harus dikeringkan dan digiling 6 ton gabah. Supaya per hari bisa panen 6 ton gabah, maka penanaman areal 100 hektar tersebut harus diatur per hari 1,5 hektar atau per minggu 10,5 hektar. Kalau kita menginginkan cadangan gabah dalam silo bisa digiling selama masa penanaman, maka kapasitas silonya yang 400 ton. Kalau kita ingin punya cadangan gabah untuk 2 musim tanam, maka silonya yang 800 ton. Apabila penanaman dilakukan serentak, maka akan timbul masalah dalam pengeringan. Hingga diperlukan banyak dryer atau satu dryer dengan kapasitas besar. Dryer tersebut akhirnya akan lebih banyak tidak beroperasi. Hingga harus ada pertimbangan, kalau penanaman dilakukan bertahap, kapasitas terpakai dryer bisa dipenuhi. Apabila penanamannya serentak, kapasitas terpakai dryer paling tingg hanya 100 hari dalam setahun. Dengan hasil 1.200 ton per tahun, kalau kita ingin penggilingan beroperasi penuh 300 hari, maka kapasitas terpasangnya harus yang  4 ton per hari.
Di negeri tropis seperti Indonesia yang tingat kelembapannya sangat tinggi, dryer mutlak diperlukan untuk mendukung industri perberasan nasional. Sayangnya, di antara mesin-mesin pertanian yang ada, dryer adalah yang paling tinggi harganya. Mesin-mesin pengupas, pemipil, pencacah, pemecah atau penepung dengan kapasitas terkecil (di bawah 300 kg per jam), harganya masih di bawah Rp 20.000.000,- per unit termasuk tenaga penggeraknya. Tetapi harga dryer kapasitas terkecil sudah mencapai di atas Rp 30.000.000,- per unit. Hal inilah antara lain yang menyebabkan sentra-sentra penghasil beras di Indonesia sulit untuk melengkepi dirinya dengan dryer. Tetapi masalah ini dapat diatasi apabila dryer yang digunakan bukan model build up yang menyatu dengan silo dan huller. Dryer ini bisa menjadi unit tersendiri yang fungsinya multi produk. Artinya, satu unit dryer diusahakan sepanjang tahun untuk mengeringkan apa saja. Mulai dari cabai, kacang tanah, kedelai, jagung, singkong dan lain-lain. Dengan demikian kapasitas terpasang dari dryer tersebut akan terpakai penuh
Dibandingkan dengan jaman orde baru, sekarang-sekarang ini cadangan beras nasional kita sangat rawan. Karena tidak ada pihak yang menjadi "penyangga" cadangan tersebut. Pada jaman Bulog masih sangat berperan, lembaga ini diberi konsesi untuk menangani gula, gandum dan bungkil dengan kewajiban menjadi penyangga beras. Tetapi lembaga ini bersifat banci. BUMN bukan, lembaga pemerintah kok bisnis. Sekarang ini Bulog kehilangan fungsinya sebagai penyangga perberasan nasional. Bisnisnya telah dipotong IMF, karena di masa silam menjadi ajang korupsi yang luarbiasa. Akibatnya, dana untuk menyangga beras tidak ada lagi. Padahal, dana yang diperlukan untuk menjadi penyangga cadangan pangan nasional jumlahnya sangat besar. Untuk mengumpulkan 9.000.000 ton beras atau setara dengan 15.000.000 ton gabah kering giling dari petani, diperlukan dana segar  sebesar Rp 21 trilyun. Dana ini hanya sebatas untuk melakukan pembelian. Belum terhitung ongkos angkut dan biaya sewa gudang. Belum lagi resiko yang harus ditanggung akibat penyusutan dan kerusakan karena yang disimpan Bulog berupa beras, bukan gabah atau bulir padi.
Jadi alternatif yang bisa ditempuh adalah, Bulog setelah di BUMNkan harus murni menjadi padagang beras. Gudang-gudang yang ada dijual atau disewakan. Sebagai pedagang beras yang orientasinya profit, Bulog harus mengubah pola kerjanya dengan cara baru. Di sentra-sentra beras harus tersedia dryer, silo dan huller. Karena huller-huller sudah memasyarakat di lingkungan petani, maka yang harus ditangani Bulog cukup dryer dan silonya saja. Dia juga harus melakukan pembinaan kelompok tani bersama-sama dengan Ditjen Tanaman Pangan dan Dinas Pertanian untuk mempernaiki kualitas gabah yang dihasilkan petani. Karena yang dilakukan Bulog bersifat massal, mestinya nilai uang yang ditanamkan untuk melaksanakan tugas sebagai penyangga stok beras nasional, bisa ditutup dari keuntungan tersebut. Sebab di saat panen raya, harga gabah kering sawah di tingkat petani hanya berkisar antara Rp 700,- sampai Rp 800,-  Sementara harga beras kualitas rendah di saat paceklik bisa mencapai Rp 2.000,- Peluang inilah yang mestinya ditangkap oleh Bulog sebagai "pedagang beras raksasa".

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 All About Horticulture and Powered by Blogger.