Pages

Monday, October 31, 2011

JUALAN KALENG BERISI NANAS



Dua tahun yang lalu, seorang investor berdarah Arab dengan menggebu-gebu memesan sebuah  "studi kelayakan" agroindustri nanas. Sebab ia mendapatkan order nanas kalengan dari koleganya di Timur Tengah sana. Lahan sudah dia peroleh sampai ribuan hektar di provinsi Jambi. Modal juga tidak menjadi masalah, sebab Real dari Saudi siap untuk diinvestasikan di sini. Tetapi alangkah kagetnya sang calon investor tersebut, ketika diberi tahu bahwa dia harus mendirikan pabrik kaleng. Mengapa pabrik kaleng? Bukankah kaleng itu bisa dipesan? Memang benar. Tetapi kalau kita membangun agroindustri nanas dengan kaleng pesanan, yang untung pabrik kalengnya. Agroindustri nanas kalengan memang bukan jualan nanas. Sebab nilai kaleng tersebut sekitar 60% dari nilai nanasnya. Maka kebun-kebun nanas besar sebenarnya mengandalkan pendapatnyanya dari pabrik kaleng. Sebab nilai omzet dan keuntungan dari pabrik kaleng 20% lebih tinggi dibanding dari kebun dan prosesing nanasnya. Kecuali kebun nanas tersebut dibangun untuk industri konsentrat yang dipasarkan dalam bentuk curah.
Bupati-bupati di Indonesia, sekarang ini  menjadi sangat agresif dalam   upayanya mendatangkan investor. Termasuk investor yang akan membuka kebun nanas. Bebarapa bupati berencana, limbah nanas itu nantinya akan diolah menjadi pakan ternak. Hingga agroindustri nanas tersebut akan digabung dengan agroindustri sapi potong dengan hasil corned dan sosis. Sebab saat ini  Indonesia masih tekor daging sapi hingga harus selalu impor. Tetapi ketika Sang Bupati diberitahu bahwa investor itu juga harus membuka pabrik pengolahan singkong, dia kaget. Mengapa harus singkong segala? Ternyata kalau mau berhasil memang harus demikian. Sebab Great Giant Peanaple (GGP), sebuah agroindustri nanas di Lampung, dulu-dulunya hanya kebun singkong. Karena lahan yang ditanami singkong itu makin lama makin kurus, maka dicarilah alternatif komoditas yang bisa dirotasi dengan singkong. Ketika para pimpinan perusahaan Gunung Sewu Grup ini jalan-jalan ke kebun singkong di Thailand, ketahuanlah bahwa yang paling pas dirotasi dengan singkong adalah nanas.
Perusahaan ini kemudian berpatungan dengan Delmonte untuk mendapatkan jalur pemasaran nanasnya. Setelah beroperasi, ternyata ada masalah dengan limbahnya. Kembali para pimpinan GGP jalan-jalan ke kebun nanas di Thailand, Taiwan dan Australia. Ternyata di kebun-kebun nanas itu selalu ada ternak sapinya. Cara menangani limbah nanas yang paling tepat dan sekaligus menguntungkan  adalah dengan memberikannya pada sapi. Maka dibukalah unit usaha penggemukan sapi potong. Ketika kurs 1 US $ terhadap rupiah melambung sampai Rp 15.000,- banyak pengusaha penggemukan sapi potong yang colaps. GGP juga kesulitan untuk mengimpor sapi bakalan dari Australia. Limbah nanas dan limbah singkong pun di proses kering lalu diekspor ke Jepang. Hasilnya juga lumayan. Jadi kalau kita ingin sukses di agroindustri pengalengan nanas, maka yang harus kita lakukan menjadi banyak sekali.
Pertama kita harus merotasi lahan dengan singkong. Berarti kita juga harus membangun unit pengolahan singkong. Baik menjadi tapioca (gaplek) maupun menjadi casava (pati). Untuk menangani nanasnya, kita harus membangun pabrik kaleng dan sekaligus unit prosesing nanas. Kaleng-kaleng ini perlu dibeli merk. Hingga harus ada pula unit percetakan lengkap dengan bagian grafisnya. Kemudian guna menanggulangi limbahnya, harus ada unit penggemukan sapi potong. Jadi kalau ada investor yang mencoba-coba menanamkan modalnya di prosesing nanas kaleng hanya sekadar memikirkan nanasnya, lebih-lebih kalau hanya mengandalkan nanas rakyat, bisa dipastikan uangnya hanya akan jadi besi tua. Contohnya di Calan Cagak di Kab. Subang, Jawa Barat. Juga di Jambi sana. Investasi untuk pengalengan nanas itu menjadi sia-sia. Sebab rakyat lebih memilih untuk menjual nanasnya dalam bentuk segar, dengan nilai lebih tinggi daripada dijual ke pabrik. Ketika GGP mengajukan izin untuk membangun agroindustri nanas, Presiden Soeharto (waktu itu) mensyaratkan digunakannya pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Rakyat sebagai Plasmalah yang harus menanam nanas, sementara Inti yang memprosesnya. Ternyata pola demikian juga tidak mungkin terlaksana. Sebab nanas yang dihasilkan rakyat, tidak pernah seragam ukurannya, hingga tidak bisa pas untuk bisa masuk ke mesin pengupas.
Nanas (Ananas comosus) adalah tumbuhan asli dari Amerika Latin. Masuk ke Indonesia dibawa oleh bangsa Eropa pada abad XVII. Namun pengembangannya secara besar-besaran baru dimulai beberapa puluh tahun terakhir. Terutama setelah Hawaii yang selama ini dikenal sebagai produsen nanas kalengan mulai mengalihkan perhatiannya ke industri pariwisata. Peluang ini mulai ditangkap oleh negara-negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ada dua varietas nanas. Varietas Cayenne untuk industri dan varietas Queen  untuk buah meja. Contoh varietas cayenne adalah nanas subang dan kediri. Contoh varietas Queen adalah nanas bogor dan palembang. Daun nanas Cayenne panjang-panjang dan halus dengan duri relatif sedikit. Hingga bisa disebut daun nanas cayenne tidak berduri. Buah nanas cayenne berukuran besar, dengan permukaan kulit buah halus berwarna hijau tua kecokelatan. Jambulnya pendek dengan tangkai yang sempit. Tangkai buah cayenne banyak ditumbuhi tunas (sampai sekitar 10 buah). Daging buah cayenne berserat tetapi lunak. Rasanya cenderung masam dan berair banyak.  Produktifitasnya tinggi.
Varietas Queen lebih cocok untuk buah meja. Daun Queen berukuran pendek dan lebih lebar serta berduri tajam. Buahnya lebih kecil dari Cayenne dan bertangkai panjang. Pada pangkal buah tidak banyak tumbuh tunas. Dalam satu buah paling banyak ada sekitar 4 tunas, kadang-kadang juga tidak tumbuh sama sekali. Buah Queen juga berduri dan kasar. Warna kulit buahnya kuning cerah setelah masak. "jambulnya" tegak dan memanjang ke atas dengan tangkai yang melebar. Nanas bogor dan palembang sebenarnya sama-sama varietas queen. Namun nanas bogor berukuran kecil-kecil sementara nanas palembang bisa berukuran besar. Kualitas daging buah nanas palembang juga lebih baik. Varietas queen yang tumbuh di Sumatera Selatan merupakan nanas buah bermutu paling baik di Indonesia. Ketika contoh nanas palembang ini dikirim ke Jepang, konsumen di sana sangat terkagum-kagum dan langsung menyukainya. Pesanan dalam bentuk segar pun datang. Tetapi kita yang justru tidak siap. Sebab nanas rakyat di Sumsel memang belum dibudidayakan dengan pola yang baik. Kontinuitasnya dan keseragaman kualitasnya masih belum bisa menjamin pengiriman ke Jepang secara teratur.
Jadi kalau kita ingin mengembangkan agroindustri nanas, pilihannya pada varietas cayenee. Saat ini sudah banyak berkembang sub-sub varietas yang dikembangkan untuk agroklimat khusus. Misalnya, GGP telah mengembangkan sub-sub varietas yang cocok untuk kawasan Lampung Tengah. Daya adaptasi nanas memang luarbiasa. Di Kab. Batanghari, Jambi, ada kawasan  pasang surut yang tingkat kamasaman tanahnya tinggi sekali (pH 4,5). Tanaman padi dan palawija tidak bisa hidup. Demikian pula dengan tanaman keras seperti karet. Ternyata nanas cayenne dapat tumbuh baik dengan produktifitas tinggi dan kualitas prima. Saat ini luas areal nanas rakyat di Kab. Batanghari sudah menyamai areal GGP di Lampung. Di sana juga sudah berkembang industri pengolahan nanas rakyat. Mulai dari dodol nanas, salai sampai ke minumannya. Berdikari Group yang mendirikan parik pengolahan nanas di sini hanya bisa gigit jari. Pabrik tersebut tidak pernah bisa beroperasi dan akhirnya menjadi besi tua.
Agroindustri nanas tidak bisa kecil-kecilan. Investasinya akan mencapai angka puluhan M (rupiah) atau puluhan juta (US $). Sebab yang harus dikerjakan adalah tiga komoditas. Nanas, singkong dan sapi potong. Nanas bukan sekadar dengan pabrik pengolahan tetapi juga pabrik kaleng. Singkong harus dengan pabrik casava atau tapioca. Sapinya harus mendatangkan bakalan dari Australia. Tetapi calon investor agroindustri nanas banyak yang belum tahu "rahasia" ini. Sebab ketika dia melihat peluang pasar nanas kalengan, maka yang dikontaknya adalah Departemen Pertanian atau Dinas Pertanian kabupaten/provinsi, dan perguruan tinggi seperti IPB. Di Deptan dan IPB yang ada hanyalah "spesialis". Artinya, orang yang tahu nanas ya sekadar tahu permasalahan teknis mengenai nanas. Baik benihnya, budidaya maupun pasca penennya. Kalau kita kontak ke Balai Besar Industri Hasil Pertanian (BBIHP), Deperindag, maka yang dikemukakan hanyalah mesin prosesing. Itulah sebabnya banyak investor yang terjebak ketika benar-benar terjun ke agroindustri nanas.
Secara ekonomis, agroindustri nanas masih sangat bagus asal merupakan gabungan dari tiga komoditas sekaligus yakni nanas, singkong dan sapi. Pertama, pasar tiga komoditas ini masih longgar. Kuota manihot kita (tapioca dan casava) ke MEE, tak pernah bisa terpenuhi karena volume produksi manihot kita memang rendah. Nanasnya sendiri, saat ini sentra produksinya sudah mulai menggeser ke Indonesia dan India. Karena Taiwan dan Thailand pun kini sudah mulai "membuang" agroindustri nanasnya. Sebab nilai lahan dan tenaga kerja di Taiwan dan Thailand sudah menjadi tidak efisien lagi untuk nanas.
Sementara sapi potongnya, Indonesia sendiri masih terus tekor.  Hingga tiga komoditas ini memang ideal untuk ditangani secara serius. Namun, menjual nanas ke pasar internasional tidak bisa dilakukan sendirian. Siapapun yang mau masuk ke komoditas nanas, harus tunduk pada perusahaan-perusahaan multinasional seperti Delmonte. Kecuali kita mau masuk ke Timur Tengah atau RRC. Agroindustri nanas di Indonesia tidak bisa mengandalkan pertanian rakyat. Di Taiwan, Thailand dan Australia bisa. Karena petani di sana sudah menerapkan sistem pertanian yang sama dengan yang diterapkan oleh agroindustri nanas modern. (FR)+++

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 All About Horticulture and Powered by Blogger.