Pages

Saturday, November 5, 2011

KONSERVASI LAHAN PERTANIAN

Pertanian yang berbasis olah tanah konservasi tidak akan berhasil dikembangkan jika setiap pelaku di sektor ini masih terikat di dalam mind-set olah tanah konvensional. Untuk merebut kembali momentum yang telah hilang dibutuhkan motivasi yang besar dan perubahan paradigma dari segenap pihak yang bergerak di sektor pertanian, baik itu pejabat, peneliti, ilmuwan, penyuluh, maupun petani sebagai pelaku langsung pertanian.


Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia. Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Tanah yang rusak/kritis sangat sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan yang bermanfaat, karena keterbatasan-keterbatasan dari lahan kritis itu sendiri. Tanah yang rusak dengan kekurangannya sulit untuk menjaga lengas tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan pada saat musim kemarau. Sementara itu, tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim penghujan, sehingga hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi permukaan.
Data Areal lahan kering di Indonesia menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam Haryati (2002) tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis telah mencapai ±18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis pada tahun 2005 cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Irian Jaya (11,8 juta ha).
Potensi yang demikian besar harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, pemanfaatan lahan kering tersebut harus berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebut tersebar di hulu DAS yang bentuk wilayahnya berbukit dengan curah hujan yang cukup tinggi. Kondisi demikian akan memicu erosi yang berakibat pada degradasi lahan. Lahan kering umumnya menjadikan air sebagai faktor pembatas yang utama dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pengelolaan lahan kering.
Untuk dapat menjamin adanya ketersediaan air baik di musim penghujan dan musim kemarau (iklim tropis) diperlukan beberapa teknologi yang applicable dan hemat biaya karena petani lahan kering umumnya miskin. Beberapa penelitian konservasi air telah dilakukan dan diujicobakan pada berbagai tempat untuk dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan mengoptimalkan manfaat sumberdaya air terutama di musim kemarau. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah di tempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan terpadu pada lahan kering kritis pada wilayah DAS ini sangat relevan dalam mendukung GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air) yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 April 2005. Gerakan ini merupakan gerakan nasional terpadu antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada seluruh wilayah DAS di Indonesia.  Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.


0 comments:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 All About Horticulture and Powered by Blogger.